Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide
kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin
menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan
kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138).
Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan
Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki
landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk
mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik,
latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda
sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan
sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk
melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan
Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk
menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai
sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk
membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah
kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian
bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan
pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha
pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program
pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan
berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian
PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun.
Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk,
1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh
Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971.
Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi,
kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah
untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar,
tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan
Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian
menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali,
contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara
dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun
1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong
antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan
intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277,
Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras
dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu
Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah
dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi,
rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang
lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk
menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang
masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup
yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan
atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada
masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang
dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk
kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk
mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah
tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk
pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk
mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan
pemerintah.